MENGAPA MENGHAKIMI ITU DILARANG
OLEH: EV. I KETUT SUNALIS MUADI, S.TH
Matius
7:1-5
1
"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai
untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur,
akan diukurkan kepadamu.
3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata
saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada
saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok
di dalam matamu.
5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok
dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar
itu dari mata saudaramu."
Kata “menghakimi” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani “κρινω’ (krino).Dalam PB kata “κρινω’ (krino)ini digunakan sebanyak 114 kali yang diterjemahkan dengan bermacam-macam arti yang berbeda.
Kadang kata “krino” diterjemahkan menjadi, menghakimi,
mempertimbangkan, membedakan, memutuskan dan menjatuhkan hukuman.
Dalam khotbah saya yang lain, dengan judul “jangan menghakimi”
sudah saya singgung bahwa menghakimi itu boleh asal:
-
Dilakukan dalam “batasan” yang benar.
Defenisi /batasan dari kata
“menghakimi”(Krino) harus jelas. Menghakimi boleh jika arti “krino” adalah mempertimbangkan atau membedakan. Karena kita
punya kewajiban dalam membedakan ajaran yang benar dan sesat, membedakan nabi
asli atau palsu.Tapi kalau defenisinya sampai dalam “menjatuhkan hukuman” maka
“menghakimi itu dilarang.
-
Dilakukan dengan cara yang benar.
Alkitab mengajar kita kalau menghakimi harus
dilakukan dengan dikaios/adil/benar(Yoh 7:24). Adapun caranya adalah jangan
menghakimi hanya berdasarkan apa yang nampak. Selanjutnya jangan
menghakimi dengan ukuran manusia (Yoh 8:15). Di luar cara yang benar menghakimi itu
dilarang.
-
Dilkukan dengan orang yang benar.
Orang yang benar yang dimaksudkan disini adalah orang yang tak
berdosa alias tidak ada balok di dalam
matanya.
-
Dilakukan dengan motivasi yang benar.
Kalau motivasinya benar, maka menghakimi itu
boleh, yang penting bukan untuk
menjatuhkan atau mencari-cari kesalahan orang lain.
Jikalau dalam menghakimi syarat-syarat di atas
tidak terpenuhi, maka yang berlaku adalah jangan menghakimi atau dilarang
menghakimi.
Pada
kesempatan ini kita akan belajar tentang alasan-alasan mengapa menghakimi itu
dilarang.
I.
KARENA
MENGHAKIMI ITU BERBAHAYA
Pada
bagian ini kita akan meneliti bahaya-bahaya yang timbul disaat kita menghakimi
orang lain.
1.
Menghakimi
orang lain=menghakimi diri sendiri
Mat 7:1-2
1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu
akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan
kepadamu.
Luk 6:37 "Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum;
ampunilah dan kamu akan diampuni.
Penghakiman
itu berbahaya bagi diri sendiri, karena ‘Dalam
menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri’ (Rom 2:1).
Rm 2:1 Karena itu, hai
manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak
bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi
orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal
yang sama.
Menghakimi
orang lain berarti memberi kesempatan untuk penghakiman yg serupa atas diri
sendiri.
Craig S. Keener, dalam The IVP Bible
Background Commentary: New Testament, mengungkapkan bahwa kata-kata Yesus
dalam Matius 7 memiliki hubungan erat dengan apa yang disebut dengan “ukuran
menghakimi” pada masa itu. Di pasar-pasar orang biasanya menukarkan barangnya
dengan barang yang lain yang dianggap memiliki nilai yang sebanding. Idenya
adalah apa yang diberi harus sebanding dengan apa yang diterima. Ide ini
kemudian diterapkan dalam bagaimana seseorang harus menerima konsekuensi dari
tindakannya, yang biasanya dikenal dengan sebutan “retribusi” (Ams. 19:17; Mat.
5:7; 6:14-15; bnd. prinsp PL bahwa para saksi palsu akan menerima hukuman
terhadap dusta mereka [Ul. 19:18–21]; dan para hakim yang diangkat harus
menghakimi dengan adil dan sebagaimana mestinya [Kel. 23:6–8; Ul. 16:18–20]).
Itulah sebabnya, pada waktu itu ada semacam semboyan retributif (bnd. Ul. 28)
yang berhubungan dengan bagaimana mengadakan penilaian terhadap sesamanya,
berbunyi demikian, “As a man measures it will be measured back to him”.
Saya beritahukan kepada Anda bahwa hal ini adalah prinsip
penting yang menjadi landasan yang harus diketahui oleh setiap orang Kristen.
Inilah rahasia kehidupan orang Kristen yang perlu kita ketahui benar-benar. Apa rahasia itu?
Bagaimana cara kita bertindak akan menjadi cara yang dipakai Allah dalam
berurusan dengan kita. Terapkanlah prinsip ini, dan Anda akan melihat bahwa hal
itu mencakup keseluruhan kehidupan Kristen Anda. Ini adalah prinsip terpenting
yang perlu dipahami oleh setiap orang Kristen. Jika Anda tidak mengampuni
seorang saudara seiman, Anda tidak akan diampuni. Anda menghakimi saudara
seiman, maka Allah akan menghakimi Anda. Semakin berat kutukan Anda, semakin
berat pula Allah akan mengutuk Anda. Sangat mengerikan. Ini adalah bagian
peringatan dari ajaran Tuhan.
Ada seorang kritikus seni yang sudah lanjut usia. Dia cukup
ahli di dalam menilai dan mengkritik lukisan. Sudah banyak waktu yang
dihabiskannya untuk mempelajari kritik seni dan sangat banyak buku tentang
kritik seni yang sudah dibacanya, sampai-sampai kesehatan matanya terganggu.
Pada suatu hari ia mengunjungi sebuah pameran lukisan yang besar, dan sesampainya
di tempat pameran ia baru menyadari bahwa kacamatanya tertinggal. Jadi ia harus
memelototi lukisan di sana dari jarak yang sangat dekat. Lalu ia mulai menilai
lukisan-lukisan yang dipamerkan. Tanpa henti ia mencela setiap lukisan yang
diamatinya, yang ini salah, yang itu tidak sesuai proporsinya dan yang lain
lagi tidak jelas gayanya. Setiap lukisan mendapat giliran untuk dicela. Satu
hal yang lucu dari para kritikus seni adalah seringkali mereka sendiri tidak
pernah berkarya tetapi mereka fasih dalam mengkritik karya orang lain. Akhirnya
kritikus tua ini sampai pada sebuah pigura besar berwarna keemasan dan ia
mendekatkan wajahnya sedemikian rupa untuk mulai mengamati gambar yang ada di
dalam pigura itu. Sesudah cukup lama memandang, ia lalu mulai menyatakan
pendapatnya, "Lukisan ini buruk sekali! Bagaimana mungkin sebuah lukisan
yang sangat buruk dapat dipamerkan di galeri yang berkelas? Lukisan ini
benar-benar tidak memiliki proporsi dan wajah yang ditampilkan pun sangat
buruk". Dan ia menjadi sangat geram lalu mulai mencela pihak galeri yang
sudah memamerkan lukisan potret yang luar biasa buruknya. Pada titik ini, saya
rasa, beberapa dari Anda mungkin sudah dapat menebak apa yang sedang ia amati
di dalam pigura itu. Yang dia amati adalah sebuah cermin, dan potret yang ia
cela di dalam cermin itu adalah wajahnya sendiri. Ketika ia sedang memarahi
pihak galeri, istrinya berkata, "Sayang, sabar dulu. Apa yang sedang kamu
lihat itu sebuah cermin." Demikianlah, pada saat ia sedang mengkritik, pada
saat ia mengira sedang mengkritik lukisan karya orang lain, ia mengakhirinya
dengan mengkritik diri sendiri dan memamerkan kebodohannya.
Jadi sekarang kita dapat memahami makna dari kisah kritikus
seni yang sedang menghakimi dirinya sendiri ketika ia menatap ke arah cermin
yang dikiranya sebagai lukisan. Yang Anda amati adalah diri Anda sendiri,
saudara-saudara. Pada saat Anda mengecam saudara seiman, Anda sedang
mengumumkan penghakiman atas diri Anda sendiri. Jadi inilah sisi negatifnya,
peringatan bahwa apa yang Anda ukurkan kepada orang lain akan diukurkan kepada
Anda.
2.
Menghakimi
= fitnah
Yak 4:11 Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling
memfitnah! Barangsiapa memfitnah
saudaranya atau menghakiminya, ia
mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau
bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya.
Dalam ayat ini “memfitnah” disejajarkan
dengan “menghakimi”, hal ini wajar karena menghakimi berpotensi fitnah.
Mengapa?
Karena dalam menghakimi orang lain,
seringkali kita keliru karena tidak mengetahui hal yang sesungguhnya secara
lengkap dan menyeluruh. Tuhan Yesus
pernah dihakimi secara tidak patut dan layak oleh orang-orang Farisi dan
ahli-ahli Taurat. Akhirnya Tuhan Yesus meminta kalau menghakimi tidak boleh
hanya berdasarkan apa yang nampak atau menurut ukuran manusia. Ini berarti
bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat sudah memfitnah Yesus, karena
penghakiman mereka itu tidak benar.
Yoh 7:24 Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil “δικαιος” (dikaios)."
Yoh 8:15 Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku
tidak menghakimi seorangpun,
Karena menghakimi bisa menimbulkan fitnah makanya
menghakimi itu dilarang karena mengandung bahaya yang besar dalam fitnah.
3.
Menghakimi=mencela
hukum/Mencela Tuhan
Yak 4:11-12
11
Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa
memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum
dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah
penurut hukum, tetapi hakimnya.
12 Hanya
ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia
yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga
engkau mau menghakimi sesamamu manusia?
Mari kita awali dengan fokus pada ayat
11. Apakah kita benar-benar mengerti hal yang disampaikan oleh Yakobus di ayat
ini? Kalau kita menghakimi atau mengecam orang lain, berarti kita sedang
mengecam atau menghakimi hukum. Mengapa Yakobus berkata bahwa mengecam orang
lain sama dengan mengecam hukum? Bagaimana mungkin? Apa hubungan
antara tindakan mengecam orang lain dengan mengecam hukum?
Logika Yakobus sebenarnya sederhana.
Karena hukum itu diberikan oleh Tuhan untuk kita taati -dan rangkuman dari
hukum yang diberikan oleh Tuhan adalah 'mengasihi sesama manusia seperti diri
sendiri'- maka jika kita mengecam dan menghakimi saudara seiman, bukankah kita
sedang menolak perintah Tuhan? Kalau kita menolak perintah Tuhan,
bukankah kita sedang menolak kedaulatan Tuhan? Ini juga berarti bahwa sikap
hati kita terhadap Tuhan ditunjukan oleh sikap hati terhadap hukum-Nya. Dan
semua itu terwujud dalam cara-cara kita memperhatikan saudara seiman. Kalau
kita meremehkan serta mengecam mereka, berarti kita sedang meremehkan perintah
Allah, yang juga berarti bahwa kita meremehkan Allah.
II.
KARENA
KITA TIDAK KOMPETEN UNTUK ITU
Penyebab
selanjutnya mengapa kita dilarang untuk menghakimi adalah karena kita tidak
kompeten dibidang itu. Kita tidak cukup cakap untuk menghakimi orang lain.
Mengapa?
1. Karena
kita adalah orang berdosa
Tuhan memerintahkan kita dalam kaitan
menghakimi adalah penghakiman yang adil/benar (dikaios), tidak hanya didasarkan
pada apa yang nampak, tidak juga hanya didasarkan pada ukuran manusia.
Yoh 7:24 Janganlah
menghakimi menurut apa yang nampak,
tetapi hakimilah dengan adil."
Yoh 8:15 Kamu menghakimi menurut
ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorangpun,
Dengan aturan dalam menghakimi seperti
ayat diatas, maka bisa dikatakan bahwa penghakiman semacam itu hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang yang sempurna.
Sementara itu
Alkitab mengatakan bahwa “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (Roma 3:10;
bnd Roma 3:1-10,23; Roma 5:12, 19; Mzm 14:1). Hanya Yesus Kristus, yang hidup
sebagai orang “tidak berdosa” (Ibrani 4:15). Dosa telah merusak segala
kemampuan kita yang sempurna, dosa telah membuat pengetahuan kita merosot
sedemikian rupa. Dosa juga membuat kita tidak bisa obyektif dalam menilai
sesuatu. Semua ini menyiratkan bahwa kita tidak cakap untuk menghakimi, karena
kita adalah orang berdosa.
Suatu ketika Yesus berada di Bait Allah untuk mengajar, dan
banyak orang yang mengerumuni diri-Nya. Waktu mengajar orang-orang itu
terganggu oleh kedatangan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang membawa
seorang wanita yang kedapatan berbuat zinah (Yoh 8:3). Murka atas keberhasilan
Yesus dan jengkel atas ketidakmampuan mereka untuk membungkam-Nya, para
pemimpin itu sekarang memanfaatkan kesempatan untuk mempermalukan Dia di hadapan
orang banyak. Mereka juga mempermalukan perempuan itu dengan menempatkan dia di
tengah-tengah orang banyak tersebut.
Sambil
mengingatkan Yesus bahwa hukuman untuk pelanggaran ini adalah dilempari batu
(Ul 22:23,24), para pemimpin itu ingin mengetahui keputusan Yesus terhadap
perempuan itu. Mereka melakukan itu untuk mencobai Dia dengan menempatkan Dia
di dalam sebuah dilema. Apabila Dia mengikuti hukum Taurat, yang tampaknya
tidak selalu dilaksanakan dengan secara keras di dalam kasus-kasus semacam itu,
Yesus bisa tampak sebagai orang yang tidak berperasaan. Apabila Yesus
memutuskan pengampunan, Dia bisa dinyatakan sebagai memiliki pandangan yang
terlalu lunak terhadap penerapan hukum Taurat.
Apabila
orang orang Farisi itu memang benar-benar ingin memberlakukan hukum Taurat,
mereka tentu juga menyeret pihak laki-laki yang bezinah dengan perempuan
tersebut. Ini membeberkan motivasi dari pemimpin-pemimpin tersebut.
Reaksi
Yesus waktu perempuan yg berzinah dibawa ke hadapan Yesus, Dia berkata, ‘Barangsiapa
di antara kamu yg tidak berdosa, hendaklah ia yg pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu’ (Yoh 8:7).
Yoh 8:7 Dan ketika mereka
terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada
mereka: "Barangsiapa di antara kamu
tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan
itu."
“Tidak
berdosa” di sini tidak harus dimengerti sebagai dosa perzinahan, tetapi dosa
secara umum. Kata-kata Yesus menyebabkan berpindahnya perhatian dari Yesus dan
perempuan itu kepada para penuduh.
Pernyataan
Yesus dalam ayat ini menyiratkan bahwa “menghakimi” dalam arti menghukum, boleh
dilakukan oleh orang yang tanpa dosa. Selagi kita masih berdosa, kita tidak
pantas dan kompeten dalam melakukan hal tersebut.
Yesus
dapat saja melemparkan batu kepada perempuan itu. sebab Dia tanpa dosa; tetapi
Dia lebih memperhatikan pemulihan orang berdosa itu ketimbang ketaatan pada
hukum Taurat secara teliti. Apabila perkataan-Nya, Aku pun tidak menghukum
engkau, kedengaran terlalu lunak, maka hal tersebut diimbangi oleh
kelanjutannya, Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi. Sang Pemeriksa Hati
melihat ada pertobatan di dalam hati wanita itu, sehingga yang diperlukan
hanyalah peringatan untuk masa depan.
Dengan
demikian, siapakah kita, sehingga kita harus menghakimi sesama kita, sementara
Yesus yang tanpa dosa saja tidak menghakimi perempuan yang berzinah
tersebut? Inilah pertanyaan yang
dikemukakan oleh Yakobus.
Yak 4:12 Hanya ada satu
Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan
membinasakan. Tetapi siapakah engkau,
sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?
Dengan demikian pada prinsipnya kita semua adalah
terdakwa karena kita adalah orang berdosa. Di saat kita menghakimi maka pada
hakikatnya hal itu sama dengan seorang terdakwa yang duduk dimeja hakim. Anda boleh
menghakimi asal anda tidak berdosa, tapi kalau anda berdosa lebih baik jangan
menghakimi.
2. Karena ada balok di mata kita
Kembali
pada syarat menghakimi dimana harus adil/benar (dikaios) dan tidak hanya pada
apa yang nampak dan tidak juga hanya menggunakan ukuran manusia, maka ini
berarti bahwa menghakimi hanya hak Pribadi yang Maha tahu. Kemampuan kita dalam
pengamatan terbatas. Pengetahuan kita terbatas, karena hanya Tuhan yang Maha
tahu. Karena kondisi manusia semacam itu, maka manusia tidak pernah menjadi
pribadi yang cakap dalam menghakimi.
Jangankan
untuk mengetahui permasalahan orang lain secara untuh, permasalahan sendiri
saja tidak diketahuinya. Yesus mengatakan “balok” saja yang ada di dalam mata
kita kita tidak ketahui.
Mat 7:3-5
3 Mengapakah
engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di
dalam matamu tidak engkau ketahui?
4 Bagaimanakah
engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu
dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Selanjutnya
dalam ayat 5 tersirat bahwa untuk mengeluarkan selumbar dari mata sesama kita,
hanya boleh dan bisa dilakukan oleh orang yang telah mengeluarkan balok dari
dalam matanya. Artinya hanya orang yang tidak ada balok di matanyalah yang
kompeten mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya.
5 Hai orang
munafik, keluarkanlah dahulu balok dari
matamu, maka
engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata
saudaramu."
Dalam ayat-ayat di atas, Yesus menyajikan contoh yang cukup
menggelitik. Tuhan Yesus berkata, "Mengapakah engkau melihat selumbar di
mata saudaramu…" Selumbar (bhs Yunani: “καρφος” karphos) adalah tampuk, serbuk kayu, tangkai atau ranting yg
kecil dan kering, serpihan jerami yg kecil, atau bahkan sehelai rambut (bulu),
yg mungkin terbang ke mata. Secara kiasan kata itu dipakai Yesus untuk
mengartikan kesalahan yg kecil.
Sedangkan “Balok” (bhs Yunani: δοκος/dokos) yang dibicarakan di sini
adalah balok yang biasa dipakai sebagai penyangga atap. Biasanya berasal dari
batang utama sebuah pohon yang sisi-sisinya dipotong persegi dan dipasang
sebagai tiang utama.
Orang yang memiliki balok dalam matanya itu, ingin menolong
mengeluarkan selumbar dalam mata saudaranya. Tentu motivasi ini sangat baik
kelihatannya. Tetapi masalahnya adalah tidak mungkin orang itu dapat menolong
mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya karena dalam matanya sendiri terdapat
sebuah balok besar. Pada saat orang ini ingin mengeluarkan selumbar itu, ada
balok yang menghalangi dia untuk bisa melihat dengan jelas selumbar itu. Dengan
demikian, tak mungkin pertolongan bisa dilakukan. Dengan kata lain, orang yang
ada balok dimatanya tidak kompeten untuk mengeluarkan selumbar yang ada di mata
saudaranya. Orang yang punya kesalahan besar tidak akan mampu membersihkan
kesalahan kecil saudaranya.
Selanjutnya
Paulus juga menyinggung perihal ketidak pantasan kita dalam menghakimi orang
lain, jika kita mempunyai kesalahan yang sama.
Rm 2:3 Dan engkau, hai
manusia, engkau yang menghakimi
mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman
Allah?
Dengan
demikian, karena kita melakukan kesalahan
yang sama bahkan kesalahan kita lebih besar seperti balok, maka kita tidak kompeten sama sekali dalam menghakimi, karena
menghakimi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang steril dari kesalahan.
3. Karena
kita tidak punya otoritas untuk itu
Hanya Allah yang memiliki wewenang
untuk melakukan penghakiman. Hanya Allah yang berhak menghakimi, karena Ia-lah
Allah yang Maha Kuasa, satu-satunya Hakim yang jujur, yang benar dan adil dalam
penghakiman-Nya (Wahyu 16:7).
Wahyu 16:7 Dan aku mendengar mezbah itu berkata: "Ya
Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa, benar dan adil segala penghakiman-Mu."
Penghakiman bukan hak kita; janganlah
tempatkan diri kita di tempat yang tidak seharusnya. Jika kita mengambil tempat
Allah sebagai Hakim maka Allah akan menuntut pertanggungjawaban dari diri kita,
dengan standar yang kita pakai (Mat 7: 2).
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang
punya hak untuk menghakimi sesamanya.(Yakobus 4:11-12)
Penghakiman itu adalah haknya Allah
sebab hanya Dia lah satu-satunya yang tidak berdosa dan terbebas dari
kejahatan. Dialah yang punya hak untuk menghakimi dosa dan kejahatan manusia.
(Yakobus 4:12)
Oleh karena itu jangan tempatkan dirimu
ditempat Allah karena hanya Allahlah yang berhak untuk menghakimi manusia.
III.
KARENA BELUM
WAKTUNYA
1 Korints 4:3-5
3 Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku
dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia (ανθρωπινος/ anthropinos).
Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi.
4 Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu,
tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah
Tuhan.
5 Karena itu, janganlah
menghakimi (krino)sebelum waktunya,
yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam
kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka
tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.
Dalam ayat-ayat ini, Paulus tidak
bersedia mengakui penghakiman oleh orang lain atau oleh pengadilan manusia maupun
oleh dirinya sendiri. ”Pengadilan manusia” menggunakan kata ”ανθρωπινος/
anthropinos” yang secara hurfiah berarti ”hari manusia”. Tujuan Paulus adalah
mengkontraskan dengan penghakiman Tuhan pada hari Tuhan(1Kor 3:13).
Maksudnya, hari penghakiman manusia
tidak ada artinya bagi Paulus. mengapa? sebab hanya Tuhan yang dapat
menghakimi, maka penghakiman harus menantikan Dia. Pada waktu yang tepat Dia
akan melaksanakannya dengan adil dan menyeluruh, dengan menyelidiki apa yang
tersembunyi dalam kegelapan. Saat tersebut adalah saat kadatangan-Nya kembali
(bdg. 1Kor 1:7). Sebelum waktu Tuhan datanmg kembali. menghakimi orang lain
adalah sesuatu yang dilarang.
Kalau demikian apakah suatu saat orang
Kristen boleh menghakimi? ya, pada saat Yesus datang dan mendirikan kerajaan
seribu tahun.
Mat 19:28 Kata Yesus
kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu,
yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas
dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel.
Luk 22:29-30
29 Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi
kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku,
30 bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan
Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di
atas takhta untuk menghakimi kedua belas
suku Israel.
Dalam 1 Korintus 6 Paulus
juga menyinggung tentang tentang hal ini. Suatu saat orang-orang kudus akan
menghakimi dunia dan juga malaikat-malaikat.
1Kor 6:2 Atau tidak tahukah kamu, bahwa
orang-orang kudus akan menghakimi dunia? Dan jika penghakiman
dunia berada dalam tangan kamu, tidakkah kamu sanggup untuk mengurus
perkara-perkara yang tidak berarti?
1Kor 6:3 Tidak tahukah
kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat? Jadi apalagi
perkara-perkara biasa dalam hidup kita sehari-hari.
Jadi
menghakimi itu dilarang, karena belum waktunya.
~AMIN~
No comments:
Post a Comment