Tuesday, July 23, 2013

MENGAPA MENGHAKIMI ITU DILARANG


MENGAPA MENGHAKIMI ITU DILARANG
OLEH: EV. I KETUT SUNALIS MUADI, S.TH

Matius 7:1-5
1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
2  Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
3  Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
4  Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
5  Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."

Kata “menghakimi” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani “κρινω’ (krino).Dalam PB kata “κρινω’ (krino)ini digunakan sebanyak 114 kali yang diterjemahkan dengan bermacam-macam arti yang berbeda.
Kadang kata “krino” diterjemahkan menjadi, menghakimi, mempertimbangkan, membedakan, memutuskan dan menjatuhkan hukuman.
Dalam khotbah saya yang lain, dengan judul “jangan menghakimi” sudah saya singgung bahwa menghakimi itu boleh asal:
-          Dilakukan dalam “batasan” yang benar.

Defenisi /batasan dari kata “menghakimi”(Krino) harus jelas. Menghakimi boleh jika arti “krino” adalah  mempertimbangkan atau membedakan. Karena kita punya kewajiban dalam membedakan ajaran yang benar dan sesat, membedakan nabi asli atau palsu.Tapi kalau defenisinya sampai dalam “menjatuhkan hukuman” maka “menghakimi itu dilarang.

-          Dilakukan dengan cara yang benar.

Alkitab mengajar kita kalau menghakimi harus dilakukan dengan dikaios/adil/benar(Yoh 7:24). Adapun caranya adalah jangan menghakimi hanya berdasarkan apa yang nampak. Selanjutnya jangan menghakimi dengan ukuran manusia (Yoh 8:15).      Di luar cara yang benar menghakimi itu dilarang.

-          Dilkukan dengan orang yang benar.

Orang yang benar yang dimaksudkan disini adalah orang yang tak berdosa alias tidak ada balok di  dalam matanya.

-          Dilakukan dengan motivasi yang benar.
Kalau motivasinya benar, maka menghakimi itu boleh,  yang penting bukan untuk menjatuhkan atau mencari-cari kesalahan orang lain.

Jikalau dalam menghakimi syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, maka yang berlaku adalah jangan menghakimi atau dilarang menghakimi.
Pada kesempatan ini kita akan belajar tentang alasan-alasan mengapa menghakimi itu dilarang.
I.                   KARENA MENGHAKIMI ITU BERBAHAYA
Pada bagian ini kita akan meneliti bahaya-bahaya yang timbul disaat kita menghakimi orang lain.
1.      Menghakimi orang lain=menghakimi diri sendiri
Mat 7:1-2
1  "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
2  Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
Luk 6:37  "Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.
Penghakiman itu berbahaya  bagi diri sendiri, karena ‘Dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri’ (Rom 2:1).
Rm 2:1  Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.
Menghakimi orang lain berarti memberi kesempatan untuk penghakiman yg serupa atas diri sendiri.
Craig S. Keener, dalam The IVP Bible Background Commentary: New Testament, mengungkapkan bahwa kata-kata Yesus dalam Matius 7 memiliki hubungan erat dengan apa yang disebut dengan “ukuran menghakimi” pada masa itu. Di pasar-pasar orang biasanya menukarkan barangnya dengan barang yang lain yang dianggap memiliki nilai yang sebanding. Idenya adalah apa yang diberi harus sebanding dengan apa yang diterima. Ide ini kemudian diterapkan dalam bagaimana seseorang harus menerima konsekuensi dari tindakannya, yang biasanya dikenal dengan sebutan “retribusi” (Ams. 19:17; Mat. 5:7; 6:14-15; bnd. prinsp PL bahwa para saksi palsu akan menerima hukuman terhadap dusta mereka [Ul. 19:18–21]; dan para hakim yang diangkat harus menghakimi dengan adil dan sebagaimana mestinya [Kel. 23:6–8; Ul. 16:18–20]). Itulah sebabnya, pada waktu itu ada semacam semboyan retributif (bnd. Ul. 28) yang berhubungan dengan bagaimana mengadakan penilaian terhadap sesamanya, berbunyi demikian, “As a man measures it will be measured back to him”.
Saya beritahukan kepada Anda bahwa hal ini adalah prinsip penting yang menjadi landasan yang harus diketahui oleh setiap orang Kristen. Inilah rahasia kehidupan orang Kristen yang perlu kita  ketahui benar-benar. Apa rahasia itu? Bagaimana cara kita bertindak akan menjadi cara yang dipakai Allah dalam berurusan dengan kita. Terapkanlah prinsip ini, dan Anda akan melihat bahwa hal itu mencakup keseluruhan kehidupan Kristen Anda. Ini adalah prinsip terpenting yang perlu dipahami oleh setiap orang Kristen. Jika Anda tidak mengampuni seorang saudara seiman, Anda tidak akan diampuni. Anda menghakimi saudara seiman, maka Allah akan menghakimi Anda. Semakin berat kutukan Anda, semakin berat pula Allah akan mengutuk Anda. Sangat mengerikan. Ini adalah bagian peringatan dari ajaran Tuhan.
Ada seorang kritikus seni yang sudah lanjut usia. Dia cukup ahli di dalam menilai dan mengkritik lukisan. Sudah banyak waktu yang dihabiskannya untuk mempelajari kritik seni dan sangat banyak buku tentang kritik seni yang sudah dibacanya, sampai-sampai kesehatan matanya terganggu. Pada suatu hari ia mengunjungi sebuah pameran lukisan yang besar, dan sesampainya di tempat pameran ia baru menyadari bahwa kacamatanya tertinggal. Jadi ia harus memelototi lukisan di sana dari jarak yang sangat dekat. Lalu ia mulai menilai lukisan-lukisan yang dipamerkan. Tanpa henti ia mencela setiap lukisan yang diamatinya, yang ini salah, yang itu tidak sesuai proporsinya dan yang lain lagi tidak jelas gayanya. Setiap lukisan mendapat giliran untuk dicela. Satu hal yang lucu dari para kritikus seni adalah seringkali mereka sendiri tidak pernah berkarya tetapi mereka fasih dalam mengkritik karya orang lain. Akhirnya kritikus tua ini sampai pada sebuah pigura besar berwarna keemasan dan ia mendekatkan wajahnya sedemikian rupa untuk mulai mengamati gambar yang ada di dalam pigura itu. Sesudah cukup lama memandang, ia lalu mulai menyatakan pendapatnya, "Lukisan ini buruk sekali! Bagaimana mungkin sebuah lukisan yang sangat buruk dapat dipamerkan di galeri yang berkelas? Lukisan ini benar-benar tidak memiliki proporsi dan wajah yang ditampilkan pun sangat buruk". Dan ia menjadi sangat geram lalu mulai mencela pihak galeri yang sudah memamerkan lukisan potret yang luar biasa buruknya. Pada titik ini, saya rasa, beberapa dari Anda mungkin sudah dapat menebak apa yang sedang ia amati di dalam pigura itu. Yang dia amati adalah sebuah cermin, dan potret yang ia cela di dalam cermin itu adalah wajahnya sendiri. Ketika ia sedang memarahi pihak galeri, istrinya berkata, "Sayang, sabar dulu. Apa yang sedang kamu lihat itu sebuah cermin." Demikianlah, pada saat ia sedang mengkritik, pada saat ia mengira sedang mengkritik lukisan karya orang lain, ia mengakhirinya dengan mengkritik diri sendiri dan memamerkan kebodohannya.
Jadi sekarang kita dapat memahami makna dari kisah kritikus seni yang sedang menghakimi dirinya sendiri ketika ia menatap ke arah cermin yang dikiranya sebagai lukisan. Yang Anda amati adalah diri Anda sendiri, saudara-saudara. Pada saat Anda mengecam saudara seiman, Anda sedang mengumumkan penghakiman atas diri Anda sendiri. Jadi inilah sisi negatifnya, peringatan bahwa apa yang Anda ukurkan kepada orang lain akan diukurkan kepada Anda.
2.      Menghakimi = fitnah

Yak 4:11  Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya.

Dalam ayat ini “memfitnah” disejajarkan dengan “menghakimi”, hal ini wajar karena menghakimi berpotensi fitnah. Mengapa?
Karena dalam menghakimi orang lain, seringkali kita keliru karena tidak mengetahui hal yang sesungguhnya secara lengkap dan menyeluruh.  Tuhan Yesus pernah dihakimi secara tidak patut dan layak oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Akhirnya Tuhan Yesus meminta kalau menghakimi tidak boleh hanya berdasarkan apa yang nampak atau menurut ukuran manusia. Ini berarti bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat sudah memfitnah Yesus, karena penghakiman mereka itu tidak benar.
Yoh 7:24  Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil “δικαιος” (dikaios)."
Yoh 8:15  Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorangpun,
Karena menghakimi bisa menimbulkan fitnah makanya menghakimi itu dilarang karena mengandung bahaya yang besar dalam fitnah.

3.      Menghakimi=mencela hukum/Mencela Tuhan
Yak 4:11-12
11  Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya.
12  Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?
Mari kita awali dengan fokus pada ayat 11. Apakah kita benar-benar mengerti hal yang disampaikan oleh Yakobus di ayat ini?  Kalau kita menghakimi atau mengecam orang lain, berarti kita sedang mengecam atau menghakimi hukum. Mengapa Yakobus berkata bahwa mengecam orang lain sama dengan mengecam hukum?  Bagaimana mungkin?  Apa hubungan antara tindakan mengecam orang lain dengan mengecam hukum? 
Logika Yakobus sebenarnya sederhana. Karena hukum itu diberikan oleh Tuhan untuk kita taati -dan rangkuman dari hukum yang diberikan oleh Tuhan adalah 'mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri'- maka jika kita mengecam dan menghakimi saudara seiman, bukankah kita sedang menolak perintah Tuhan?  Kalau kita menolak  perintah Tuhan, bukankah kita sedang menolak kedaulatan Tuhan? Ini juga berarti bahwa sikap hati kita terhadap Tuhan ditunjukan oleh sikap hati terhadap hukum-Nya. Dan semua itu terwujud dalam cara-cara kita memperhatikan saudara seiman. Kalau kita meremehkan serta mengecam mereka, berarti kita sedang meremehkan perintah Allah, yang juga berarti bahwa kita meremehkan Allah.

II.                KARENA KITA TIDAK KOMPETEN  UNTUK  ITU
Penyebab selanjutnya mengapa kita dilarang untuk menghakimi adalah karena kita tidak kompeten dibidang itu. Kita tidak cukup cakap untuk menghakimi orang lain. Mengapa?
1.      Karena kita adalah orang berdosa

Tuhan memerintahkan kita dalam kaitan menghakimi adalah penghakiman yang adil/benar (dikaios), tidak hanya didasarkan pada apa yang nampak, tidak juga hanya didasarkan pada ukuran manusia.
Yoh 7:24  Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil."
Yoh 8:15  Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorangpun,
Dengan aturan dalam menghakimi seperti ayat diatas, maka bisa dikatakan bahwa penghakiman semacam itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sempurna.

Sementara itu Alkitab mengatakan bahwa “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (Roma 3:10; bnd Roma 3:1-10,23; Roma 5:12, 19; Mzm 14:1). Hanya Yesus Kristus, yang hidup sebagai orang “tidak berdosa” (Ibrani 4:15). Dosa telah merusak segala kemampuan kita yang sempurna, dosa telah membuat pengetahuan kita merosot sedemikian rupa. Dosa juga membuat kita tidak bisa obyektif dalam menilai sesuatu. Semua ini menyiratkan bahwa kita tidak cakap untuk menghakimi, karena kita adalah orang berdosa.

Suatu ketika Yesus  berada di Bait Allah untuk mengajar, dan banyak orang yang mengerumuni diri-Nya. Waktu mengajar orang-orang itu terganggu oleh kedatangan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang membawa seorang wanita yang kedapatan berbuat zinah (Yoh 8:3). Murka atas keberhasilan Yesus dan jengkel atas ketidakmampuan mereka untuk membungkam-Nya, para pemimpin itu sekarang memanfaatkan kesempatan untuk mempermalukan Dia di hadapan orang banyak. Mereka juga mempermalukan perempuan itu dengan menempatkan dia di tengah-tengah orang banyak tersebut.
Sambil mengingatkan Yesus bahwa hukuman untuk pelanggaran ini adalah dilempari batu (Ul 22:23,24), para pemimpin itu ingin mengetahui keputusan Yesus terhadap perempuan itu. Mereka melakukan itu untuk mencobai Dia dengan menempatkan Dia di dalam sebuah dilema. Apabila Dia mengikuti hukum Taurat, yang tampaknya tidak selalu dilaksanakan dengan secara keras di dalam kasus-kasus semacam itu, Yesus bisa tampak sebagai orang yang tidak berperasaan. Apabila Yesus memutuskan pengampunan, Dia bisa dinyatakan sebagai memiliki pandangan yang terlalu lunak terhadap penerapan hukum Taurat.
Apabila orang orang Farisi itu memang benar-benar ingin memberlakukan hukum Taurat, mereka tentu juga menyeret pihak laki-laki yang bezinah dengan perempuan tersebut. Ini membeberkan motivasi dari pemimpin-pemimpin tersebut.
Reaksi Yesus waktu perempuan yg berzinah dibawa ke hadapan Yesus, Dia berkata, ‘Barangsiapa di antara kamu yg tidak berdosa, hendaklah ia yg pertama melemparkan batu kepada perempuan itu’ (Yoh 8:7).
Yoh 8:7  Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
“Tidak berdosa” di sini tidak harus dimengerti sebagai dosa perzinahan, tetapi dosa secara umum. Kata-kata Yesus menyebabkan berpindahnya perhatian dari Yesus dan perempuan itu kepada para penuduh.
Pernyataan Yesus dalam ayat ini menyiratkan bahwa “menghakimi” dalam arti menghukum, boleh dilakukan oleh orang yang tanpa dosa. Selagi kita masih berdosa, kita tidak pantas dan kompeten dalam melakukan hal tersebut.
Yesus dapat saja melemparkan batu kepada perempuan itu. sebab Dia tanpa dosa; tetapi Dia lebih memperhatikan pemulihan orang berdosa itu ketimbang ketaatan pada hukum Taurat secara teliti. Apabila perkataan-Nya, Aku pun tidak menghukum engkau, kedengaran terlalu lunak, maka hal tersebut diimbangi oleh kelanjutannya, Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi. Sang Pemeriksa Hati melihat ada pertobatan di dalam hati wanita itu, sehingga yang diperlukan hanyalah peringatan untuk masa depan.
Dengan demikian, siapakah kita, sehingga kita harus menghakimi sesama kita, sementara Yesus yang tanpa dosa saja tidak menghakimi perempuan yang berzinah tersebut?  Inilah pertanyaan yang dikemukakan oleh Yakobus.
Yak 4:12  Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?
Dengan demikian pada prinsipnya kita semua adalah terdakwa karena kita adalah orang berdosa. Di saat kita menghakimi maka pada hakikatnya hal itu sama dengan seorang  terdakwa yang duduk dimeja hakim. Anda boleh menghakimi asal anda tidak berdosa, tapi kalau anda berdosa lebih baik jangan menghakimi.
2.       Karena ada balok di mata kita
Kembali pada syarat menghakimi dimana harus adil/benar (dikaios) dan tidak hanya pada apa yang nampak dan tidak juga hanya menggunakan ukuran manusia, maka ini berarti bahwa menghakimi hanya hak Pribadi yang Maha tahu. Kemampuan kita dalam pengamatan terbatas. Pengetahuan kita terbatas, karena hanya Tuhan yang Maha tahu. Karena kondisi manusia semacam itu, maka manusia tidak pernah menjadi pribadi yang cakap dalam menghakimi.
Jangankan untuk mengetahui permasalahan orang lain secara untuh, permasalahan sendiri saja tidak diketahuinya. Yesus mengatakan “balok” saja yang ada di dalam mata kita kita tidak ketahui.
Mat 7:3-5
3  Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
4  Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.

Selanjutnya dalam ayat 5 tersirat bahwa untuk mengeluarkan selumbar dari mata sesama kita, hanya boleh dan bisa dilakukan oleh orang yang telah mengeluarkan balok dari dalam matanya. Artinya hanya orang yang tidak ada balok di matanyalah yang kompeten mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya.

5  Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
Dalam ayat-ayat di atas, Yesus menyajikan contoh yang cukup menggelitik. Tuhan Yesus berkata, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu…" Selumbar (bhs Yunani: “καρφος” karphos) adalah  tampuk, serbuk kayu, tangkai atau ranting yg kecil dan kering, serpihan jerami yg kecil, atau bahkan sehelai rambut (bulu), yg mungkin terbang ke mata. Secara kiasan kata itu dipakai Yesus untuk mengartikan kesalahan yg kecil.
Sedangkan “Balok” (bhs Yunani:  δοκος/dokos) yang dibicarakan di sini adalah balok yang biasa dipakai sebagai penyangga atap. Biasanya berasal dari batang utama sebuah pohon yang sisi-sisinya dipotong persegi dan dipasang sebagai tiang utama.
Orang yang memiliki balok dalam matanya itu, ingin menolong mengeluarkan selumbar dalam mata saudaranya. Tentu motivasi ini sangat baik kelihatannya. Tetapi masalahnya adalah tidak mungkin orang itu dapat menolong mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya karena dalam matanya sendiri terdapat sebuah balok besar. Pada saat orang ini ingin mengeluarkan selumbar itu, ada balok yang menghalangi dia untuk bisa melihat dengan jelas selumbar itu. Dengan demikian, tak mungkin pertolongan bisa dilakukan. Dengan kata lain, orang yang ada balok dimatanya tidak kompeten untuk mengeluarkan selumbar yang ada di mata saudaranya. Orang yang punya kesalahan besar tidak akan mampu membersihkan kesalahan kecil saudaranya.
Selanjutnya Paulus juga menyinggung perihal ketidak pantasan kita dalam menghakimi orang lain, jika kita mempunyai kesalahan yang sama.
Rm 2:3  Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah?
Dengan demikian, karena kita  melakukan kesalahan yang sama bahkan kesalahan kita lebih besar seperti balok, maka kita tidak  kompeten sama sekali dalam menghakimi, karena menghakimi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang steril dari kesalahan.
3.      Karena kita tidak punya otoritas untuk itu
Hanya Allah yang memiliki wewenang untuk melakukan penghakiman. Hanya Allah yang berhak menghakimi, karena Ia-lah Allah yang Maha Kuasa, satu-satunya Hakim yang jujur, yang benar dan adil dalam penghakiman-Nya (Wahyu 16:7).
Wahyu 16:7  Dan aku mendengar mezbah itu berkata: "Ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa, benar dan adil segala penghakiman-Mu."
Penghakiman bukan hak kita; janganlah tempatkan diri kita di tempat yang tidak seharusnya. Jika kita mengambil tempat Allah sebagai Hakim maka Allah akan menuntut pertanggungjawaban dari diri kita, dengan standar yang kita pakai (Mat 7: 2).
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang punya hak untuk menghakimi sesamanya.(Yakobus 4:11-12)
Penghakiman itu adalah haknya Allah sebab hanya Dia lah satu-satunya yang tidak berdosa dan terbebas dari kejahatan. Dialah yang punya hak untuk menghakimi dosa dan kejahatan manusia. (Yakobus 4:12)
Oleh karena itu jangan tempatkan dirimu ditempat Allah karena hanya Allahlah yang berhak untuk menghakimi manusia.

III.             KARENA BELUM WAKTUNYA
1 Korints 4:3-5
3  Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia (ανθρωπινος/ anthropinos). Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi.
4  Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan.
5  Karena itu, janganlah menghakimi (krino)sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.
Dalam ayat-ayat ini, Paulus tidak bersedia mengakui penghakiman oleh orang lain atau oleh pengadilan manusia maupun oleh dirinya sendiri. ”Pengadilan manusia” menggunakan kata ”ανθρωπινος/ anthropinos” yang secara hurfiah berarti ”hari manusia”. Tujuan Paulus adalah mengkontraskan dengan penghakiman Tuhan pada hari Tuhan(1Kor 3:13).
Maksudnya, hari penghakiman manusia tidak ada artinya bagi Paulus. mengapa? sebab hanya Tuhan yang dapat menghakimi, maka penghakiman harus menantikan Dia. Pada waktu yang tepat Dia akan melaksanakannya dengan adil dan menyeluruh, dengan menyelidiki apa yang tersembunyi dalam kegelapan. Saat tersebut adalah saat kadatangan-Nya kembali (bdg. 1Kor 1:7). Sebelum waktu Tuhan datanmg kembali. menghakimi orang lain adalah sesuatu yang dilarang.
Kalau demikian apakah suatu saat orang Kristen boleh menghakimi? ya, pada saat Yesus datang dan mendirikan kerajaan seribu tahun.
Mat 19:28  Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel.
Luk 22:29-30
29  Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku,
30  bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel.

Dalam 1 Korintus 6 Paulus juga menyinggung tentang tentang hal ini. Suatu saat orang-orang kudus akan menghakimi dunia dan juga malaikat-malaikat.
1Kor 6:2  Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia? Dan jika penghakiman dunia berada dalam tangan kamu, tidakkah kamu sanggup untuk mengurus perkara-perkara yang tidak berarti?
1Kor 6:3  Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat? Jadi apalagi perkara-perkara biasa dalam hidup kita sehari-hari.
Jadi menghakimi itu dilarang, karena belum waktunya.

~AMIN~

No comments:

Post a Comment